Selasa, 13 Agustus 2013

ahh KADE NOLA KALTU DOK BOKING


Oleh : Muda M. Banurea

Di Kuta Babo, sebuah Desa di Pakpak Bharat dulu pernah ada pemilik warung kecil bernama Boking Padang. Bukan orang pintar atau berpendidikan tinggi bahkan ditengarai memiilki kelemahan dalam berkomunikasi. Tetapi dia meninggalkan “mejan” dengan celotehnya yang menggelikan dan menggemaskan. Dia  berjualan dengan kios atau warung kecil. Tradisi pada warungnya dikenal bahwa pembeli tidak boleh memborong atau membeli lebih dari satu untuk setiap jenis dagangan Misalnya jika ada dagangan rokok, maka setiap pembeli hanya diperkenankan membeli satu bungkus, dan apa bila ada yang meminta lebih maka akan dijawab “Ah… kade nola nan lah katlu…!”. Terjemahannya kira-kira “Nggak boleh, nanti yang lain nggak kebagian”. Demikian halnya terhadap jenis dagangan lainnya.
Orang merasa geli, tertawa sebab menganggap masa ia ada pedagang yang  tidak menginginkan barangnya cepat laku. Sehingga kemudian orang menganggapnya sebagai pemilik warung yang aneh. Tetapi jika ditelusuri, maka apa yang ada dibalik penolakannya mungkin harus dipandang sebagai sikap yang bijak. Bagaimana tidak. Tempatnya membeli barang tergolong jauh dari grosir atau agen.  Sehingga untuk membeli atau memesan barang tambahan butuh waktu khusus. Sementara oleh karena modal yang terbatas dia hanya mampu membeli beberapa unit dari berbagai jenis barang dagangannya. Oleh karena itu total barang daganyannya terbatas. Dengan barang dagangan yang terbatas, ia ingin agar masyarakat sekitar mendapatkan barang secara merata. Sebuah konsep pelayanan untuk menjaga kesetiaan pelanggan. Tidak boleh ada yang monopoli, bahkan mungkin ditakutkan barang yang dibeli darinya akan dijual kepada orang lain dengan harga yang lebih mahal. Dia takut pelanggannya kecewa, sebab masa itu tidak banyak pemilik warung yang sama  di kampungnya. Oleh karena itu, pembeli harus mendapatkan barang dari warungnya secara merata dengan harga yang terjaga dan terjangkau. Meskipun barangkali jika di rumah ada acara persodipen, runggu, merkata utang dll, dimana kebutuhan relaitf besar dan banyak akan terkendala. Namun barangkali juga ada kesadaran bahwa apabila akan ada acara spesifik pemilik acara tentu sudah mempersiapkan jauh-jauh hari dengan belanja di “onan” pada hari sebelumnya.
Masa itu banyak yang menganggapnya bodoh. Walau kemudian “Boking” ternyata punya pemikiran lain. Bahwa berdagang tidak semata-mata untuk memperkaya diri tetapi juga memiliki dimensi sosial. Warung masa itu tidak diarahkan untuk semata-mata meperkaya diri, tapi mungkin hanya sekedar  dapat memenuhi kehidupan sehari-hari. Jarak tempuh dengan warung yang sama teramat jauh. Jika barangnya habis diborong orang lain, tentu pembeli lain akan mengalami kesulitan, susah dan galau.  Dairi pikirannya dapat diamati bahwa  dia juga mampu membaca bahwa konsumsi pembeli memiliki limit terukur. Sehingga dengan hanya mendapatkan barang satu bungkus, satu buah atau satu unit cukup digunakan sampai tiba waktunya ketika ia kembali akan membeli barang itu lagi dari kota. Artinya pembeli tidak perlu takut dan harus menimbun barang. Untuk kebutuhan dalam porsi yang wajar tetap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar